Kamis, 21 Juli 2011

Beras Hitam Beras “Terlarang”

Sekarang beras hitam yang juga disebut beras terlarang {forbiden rice, china black), sudah mulai dibudidayakan di DIY, Jawa Tengah, dan Jaw Barat. Komoditas ini dipasarkan di Jakarta sebagai “beras kesehatan”, terutama untuk penderita diabetes.
Namun dibanding beras Basmati dari India/Pakistan, yang per kg. Rp200.000, harga beras hitam masih relatif murah. Harga ini sama dengan harga beras Jepang, yang sekarang juga sudah mulai ditanam di beberapa kawasan di Indonesia, untuk memasok restoran Jepang. Harga beras hitam produksi dalam negeri, juga masih lebih murah dengan beras hitam impor, terutama Forbiden Rice dari Jepang dan China, yang mencapai USD9 per kg. Dengan kurs Rp9.500 per 1 dollar AS, maka harga beras hitam impor mencapai Rp85.500 per kg. dua kali lipat dart harga beras hitam lokal.

Karena volume produksi masih sangat rendah, maka beras hitam hanya dipasarkan oleh penyalur-penyalur khusus, yang juga memasarkan produk-produk pangan untuk terapi kesehatan. Beras hitam bisa dikonsumsi sebagai nasi, dengan cara dimasak biasa, bisa pula sebagai bubur, untuk mereka yang harus mengonsumsi bubur, karena faktor kesehatan. Sebenarnya yang disebut beras hitam, tidak benar-benar berwarna hitam, melainkan ungu gelap, yang sepintas mirip dengan warna hitam. Warna hitam ini berasal dari pigmen yang terdapat pada kulit ari beras. Hingga karbohidrat dalam biji beras itu sendiri, tetap berwarna putih. Beras hitam, harus digiling tanpa disosoh habis, hingga kulit annya tetap tersisa.
Beras hitam juga beda dengan ketan hitam, yang selama ini dengan mudah bisa dijumpai di pasar. Sebab ketan (sticky rice), karbohidratnya lengket, sementara beras hitam, sama dengan beras Jepang tidak selengket ketan, meskipun masih sedikit lengket hingga-bisa dikonsumsi dengan sumpit. Beras hitam disebut chinese black, karena memang berasal dari daratan China.
Beras hitam dahulu hanya dikonsumsi oleh para Kaisar China, dan dilarang untuk dibudidayakan dan diperdagangkan untuk rakyat biasa. Dari sinilah muncul nama beras terlarang. Dengan runtuhnya kokaisaran, maka beras hitam bebas dibudidayakan, dan diperdagangkan untuk umum.
Budi daya padi yang menghasilkan beras hitam, sebenarnya sama dengan budi daya padi biasa. Bedanya, padi beras hitam hanya bisa dibudidayakan di kawasan berhawa sejuk. Di DIY pun, beras hitam hanya dibudidayakan di Kabupaten Sleman, di lereng gunung Merapi. Sebab beras hitam dihasilkan oleh padi sub tropis. Budi daya beras hitam harus di lahan sawah, sebab sampai sekarang belum ada varietas padi ladang yang bisa menghasilkan beras hitam. Cara budi daya sama dengan padi biasa, tanah diolah sampai menjadi lumpur, gabah (benih disemai), kemudian dicabut, dan ditanam satu per satu. Umur padi hitam sekitar lima bulan, sedikit lebih panjang dibanding padi biasa yang rata-rata empat bulan sudah panen.
Selain beras hitam chinese black, kita juga punya varietas beras hitam sendiri, selain padi ketan hitam. Namun varietas beras hitam kita, juga termasuk varietas “kuno” yang belakangan sudah tidak dibudidayakan oleh masyarakat, karena faktor ekonomis. Beras hitam tidak mungkin dijual di pasar bebas seperti halnya ketan hitam. Bahkan volume permintaan ketan hitam pun, juga tidak setinggi beras biasa. Maka pelan-pelan beras hitam menghilang dari sawah para petani. Sebelum era revolusi hijau tahun 1960-an, para petani masih menyimpan benih beras hitam, yang sengaja mereka tanam di pojokan sawah, sebagai “penolak bala”. Setelah era revolusi hijau, kebiasaan ini juga hilang dari kalangan petani.
Meskipun beras hitam asli Indonesia sekarang sudah menghilang dari para petani, tetapi Balai Penelitian Padi (Balitpa) Sukamandi, Jawa Barat, masih menyimpan benihnya. Selain Balitpa, yang mengoleksi varietas-varietas padi lokal kuno adalah International Rice Reasearch Institute (IRRI) di Los Banyor, Filipina. Sekarang ini masyarakat mulai tertarik kembali ke menu-menu tradisional, yang mereka anggap lebih sehat dibanding makanan modern. Maka beras hitam pun kembali populer, dibudidayakan, dan dipasarkan. Dengan harga Rp40.000 per kg di tingkat konsumen, paling sedikit para petani bisa memasarkan gabah mereka RplO.000 per kg. Harga ini sudah sangat baik bagi kesejahteraan petani.
Beras hitam, sama halnya dengan beras merah, dianggap bernutrisi lebih baik dibanding dengan beras putih, karena mengandung banyak mineral, misalnya zat besi. Selain itu, vitamin terutama vitamin B Komplek yang terkandung dalam kulit ari beras, masih ada. Pada beras putih, konsumen tidak mudah mengenali, apakah kulit ari yang mengandung vitamin itu masih ada, atau telah disosoh habis. Pada beras merah dan beras hitam, kulit ari itu pasti masih disisakan. Hingga sebenarnya, mengonsumsi beras putih pecah kulit pun (tanpa disosoh) sudah bisa lebih sehat, dibanding dengan mengonsumsi beras putih yang telah disosoh habis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar